Langsung ke konten utama

The Day (Part 1)


Basilica di San Marco, Venice

Minggu yang cerah, dimana horizon memamerkan langit biru yang berawan dengan hamparan cahaya berwarna kekuningan. Lonceng menara Campanile berdentang nyaring, membahanai basilica dan sekitarnya, pertanda jarum panjang jam sedang berada tepat di numera lusin.
 
Sekawanan merpati penghuni Piazza serentak membubarkan diri, mengepakkan sayap-sayap keabuannya ketika iring-iringan pengantin wanita tiba di depan sebuah bangunan yang merupakan perpaduan dari arsitektur bergaya Byzantium, Gothic, Romawi, serta Turkish. Basilica di San Marco, yang sempat terbakar dalam pemberontakan melawan Doge Pietro Candiano IV di abad ke-9, yang terlihat bagaikan istana kerajaan nan megah dalam negeri dongeng—dan si mempelai wanita yang baru saja datang adalah jelmaan dari figur Sang Tuan Putri.

Tak butuh waktu lama bagi si mempelai pria beserta para hadirin yang sudah berada di dalam untuk menyadari bahwa sang pengantin wanita telah bersiap memasuki basilica. Semua yang hadir lantas segera berdiri dari kursinya yang nyaman. Suasana yang semula cukup riuh menyusut sunyi. Arvid, yang sudah berdiri di altar meneguk salivanya dalam diam ketika mendengar suara pintu yang dibuka dari arah luar. Organ mulai dimainkan, dan harmonisasi alunan musik pernikahan Italia yang indah mengalun khidmat, menggemai seisi ruang yang langit-langitnya dipenuhi fasade mosaik dari puluhan figur malaikat bersayap emas dan orang suci.

Semua yang berada disana langsung memusatkan atensinya pada sang ‘Princess’ yang mulai melangkah memasuki lorong basilica dengan begitu anggun dan sebuket bunga mawar putih tergenggam di tangan. Berjalan bersama sang Ayah serta Martha Yaroslava dan Agnieszka Neveu sebagai pendamping yang setia mengiringi langkah si pengantin wanita dari belakang. Parasnya yang tercipta diatas kecantikan rata-rata tertutupi kerudung transparan yang menjuntai panjang ke belakang, dan akan berubah fungsi menjadi hiasan indah yang memamerkan mahkota bertahtakan mutiara dan berlian ketika dibuka. Sebagaimana tradisi Italia yang menyatakan bahwa veil adalah simbol dari keperawanan yang dapat menyembunyikan wajah si wanita dari roh cemburu.

Para hadirin terkesima, memuja-muji sang mempelai wanita yang tampak begitu mempesona. Terlebih gaun pengantin putih nan elegan dengan ekor menjuntai indah hingga lantai, serta lipatan-lipatan manis dalam siluet gaun bola yang dikenakan sang pengantin wanita terlihat begitu menyatu dengan lekukan tubuh rampingnya. Membuat pesonanya bertambah berkali-kali lipat.

This ain't a fairy tale, but with the gown and a bouquet of white roses in hand..
..she looks like a Princess in a fairy tale.

Sementara itu, di altar, si pemuda lulusan Hogwarts menunggu dengan perasaan yang tak terdefinisikan. Semalaman tadi mereka tidak bertemu satu sama lain, juga berada di tempat terpisah, dan hal itu membuat penyakit ‘malarindu’nya kambuh hingga ia rasanya tak sabar menanti datangnya hari ini. Pelan-pelan Arvid menolehkan kepalanya ke arah wanita yang tak akan lama lagi menjadi istrinya. Sekon berikut, tatapannya membeku, seolah-olah sepasang pirus disana baru saja menyaksikan mahakarya terindah yang diberikan padanya. Pengantinnya itu.. benar-benar menyihir hatinya dengan begitu kejam—hingga rasanya ia tidak akan menyesal jikapun harus mati saat itu juga.

Sigh.

Fokus sepasang mata itu kini terpaku pada ayunan sepasang kaki jenjang Crys di balik gaun yang tengah melangkah diatas permadani merah yang menghampar di lantai berpola rumit basilica. Selangkah demi selangkah, Crystal Antoinette Caldwell berjalan mendekati altar untuk nantinya diambil sumpah sehidup semati dengannya. And here, here, she comes..*
Footsteps in the hall, it was you, it was you..
Pictures on my chest, it was you
It was you...

Si pemuda berambut platina memetakan senyum aristokrat ketika David menyerahkan putrinya yang berharga untuk berdiri di sisi putra Antonio von Zeelweger itu untuk sekarang dan selamanya. Si pria tiran lalu mengambil tangan anak gadisnya dan meletakannya dengan hati-hati di tangan pemuda bersetelan tuxedo putih yang tengah mengangguk mantap disana. Arvid dengan sigap segera menerima tangan wanita yang akan menjadi pendamping hidupnya, merasakan setruman kehangatan yang mengalir di sekujur tubuhnya ketika jemari-jemari tertutup sarung tangan halus itu menyusup diantara ibu jari dan telapak.

In my hands your belong, and I'll never let you go..

Dipandanginya wanita yang kini berdiri di sisi kirinya dengan lembut. Rasa nervous dalam diri Arvid yang semula tak berhasil disembunyikan seolah lenyap ketika mendapati senyum bahagia Crys yang terpancar dari balik kerudung, membuat pemuda duapuluhempat tahun itu semakin yakin bahwa ini adalah salah satu rangkaian takdir bagi mereka setelah semua yang telah dilalui bersama. Sembilan tahun, bukanlah sebuah ukuran waktu yang singkat untuk mempertahankan hubungan kasih dalam lintas negara, bahkan juga benua (sometimes, he was in Milan or Las Vegas).
 

Arvid membiarkan sepasang turqoise miliknya bersitatap mesra penuh kasih dengan hablur kelabu lawannya lebih lama lagi, kurva gandanya membisikkan sesuatu di telinga Crys, “You’re so beautiful… so damn beautiful, Crys…”

“This marriage is a serious covenant made before God and before all of us as witnesses. In acknowledgment of it's Holy Purpose and the power of the occasion, let us pray.”

Sang Pendeta dengan jubah emas beraksen merah memulai pembukaan untuk meyatakan jiwa sepasang kekasih itu dalam satu ikatan sakral. Para undangan yang hadir turut mengikuti prosesi demi prosesi dengan khidmat, menjadi saksi dari sebuah transformasi muda-mudi disana menjadi sepasang suami-istri. Dan beruntung karena basilica di San Marco adalah sebuah tempat yang luas, sehingga para keluarga, teman, beserta kolega yang tak sedikit jumlahnya dapat tertampung tanpa terkecuali. Dan tak ada sihir yang digunakan dalam kesempatan kali ini, for-youth-info. Meskipun dua pertiga tamu yang hadir dalam bangunan yang menyimpan jenazah sang pewarta Injil; San Marco, adalah mereka, para penyihir.

Untuk sesaat von Zeelweger muda itu merenggut udara dengan rakus lalu menghembuskannya perlahan, menyadari bahwa sedari tadi ia sampai menahan nafas sejak gadis itu berdiri berdampingan dengannya di altar. Tangannya yang berada diatas tangan wanitanya semakin menggenggam erat, seakan tak ingin melepaskan. Roman wajahnya yang biasa datar kembali membiaskan senyum, memandang gadis itu lembut.


You make me feel this way
You're like a fresh morning dew on a brand new day

And the time has come, to stand for all we believe in..


© Pearl Jam; Footsteps & Barry White; You're My First, My Last, My Everything

Komentar

Postingan populer dari blog ini

`a curiosity`

Dahaganya seakan tak pernah terpuaskan. Kendati pun ia sudah minum terlalu banyak, tetap saja ia merasa selalu dan selalu saja didera dehidrasi tingkat tinggi. Haus kepalang tanggung— x X x Semua berawal dari pertemuan mereka yang tidak (di)sengaja, di malam keenam di awal tahun kelinci. She look, she hear, she think— she know . Lalu datanglah itu; ` a curiosity `. Lantas dicarilah itu informasi mengenai siapa dia, dia siapa . Dan sekilat anak kecil menghabiskan kembang gulalinya, secepat itu pula dosis keingintahuannya meningkat. Dari yang sekedar hanya ingin tahu, menjadi ingin lebih tahu, lalu ingin semakin lebih tahu lagi . ..lagi, lagi, lagi, dan lagi . Terus saja ia mencari dan menggali informasi tiada henti, karena semakin ia tahu tentang sosoknya, semakin bertambah pula rasa kagumnya. Membuatnya seakan sedang dimabuk candu, seperti layaknya orang yang sedang sakau. Kinda.. silly . Dan ia bersumpah — atas nama Nurdin Halid yang terkutuk...

Barchelor Party

Musik berdentum, menyuguhkan alunan musik techno dengan irama yang menghentak. Sampanye mengalir. Gelas-gelas berdenting. Bau anggur dan sigaret mengepung di udara. Entah sudah berapa botol minuman berkadar alkhohol tinggi— mulai dari jenis champagne, vodka, absinte, grappa, tequila, martini, limoncello hingga genepi —yang sudah dikosongkan isinya dalam tempo singkat oleh belasan pemuda yang tengah berpesta dalam sebuah bar mewah Venezia. “Hey, gimme a glass of Grappa..”  Boyd menuangkan minuman beralkohol itu sedikit terlalu banyak hingga sebagian tumpah membasahi lantai kayu dari bar yang sudah dipesan ekslusif selama dua malam. Arvid meraih gelas flute dari tangan si pemuda yang sudah dalam keadaan setengah mabuk, menghabiskan liquor bening dengan harum anggur berbasis pomace brendi itu dalam sekali teguk. It's the last time to break all the rules Let's all get drunk tonight “Wanna smoke?” Auror muda itu mengangguk singkat dan tak menolak ketika Joseph...